MITRAPOL.com - Keluarga Norima Gulo (70) tinggal di sebuah gubuk bersama putri sulungnya Dusia Gulo (45), yang mana putrinya tersebut memiliki keterbelakangan mental (sakit jiwa) warga Desa Lologolu, Kecamatan Mandrehe, Kabupaten Nias Barat Sumut, adalah satu-satunya masyarakat termiskin yang sangat terdampar dari jangkauan perhatian pemerintahan sehingga baginya tidak merasa aneh lagi apabila ada kesibukan masyarakat lain yang menerima bantuan dari pemerintah, NGO, atau jenis pemberi bantuan lainnya.
![]() |
Norima Gulo bersama anaknya Dusia Gulo beserta rumah tempat tinggal |
Hal ini terbukti sampai saat ini Keluarga Norima Gulo tidak pernah terdaftar sebagai keluarga penerima bantuan beras miskin (Raskin) lebih-lebih bantuan jenis lainnya. Gubuk tempat tinggal Norima Gulo besama putri sulungnya terlihat sangat memprihatinkan dimana tempat tidur saja terbuat dari sisa-sisa olahan kayu sedangkan lantai rumah tersebut hanya menggunakan lantai tanah, didalamnya terlihat seperti pondok yang lama di tinggalkan oleh penghuni, disamping atapnya menggunakan daun umbian yang penuh dengan kebocoran, tiang-tiang yang terbuat dari kayu bulat sudah pada miring sehingga terlihat gubuk tersebut ambruk.
Menurut Norima Gulo kepada Reporter mitrapol.com saat ditempat tinggalnya di Desa Lologolu, Kecamatan Mandrehe, Kabupaten Nias Barat menjelaskan bahwa dirinya salah seorang Janda yang telah ditinggal suami karena meninggal dunia sekitar 30’an tahun lalu.
“Saya bersama putri sulung saya Dusia Gulo, tinggal bersama di sebuah gubuk yang tidak jauh dari Tower Telkomsel yang terletak di Desa Lologolu, di gubuk ini kami harus menghabiskan waktu setiap hari karena tidak mempunyai rumah pilihan lain yang layak dihuni, dalam keseharian hidup kami, hanya mengharapkan belas kasihan tetangga yang merasa prihatin melihat keadaan kami,” katanya.
Saya tidak tahu lagi nasib kami ini, masih katanya, saya pun orangnya sering sakit-sakitan karena umur saya sudah tua apalagi kaki saya sudah pernah patah akibat di tabrak kendaraan didepan rumah kami saat hendak melintasi jalan raya pada tahun lalu, “sehingga sering kaki saya bengkak apabila saya memaksakan berjalan, kalau saya juga tidak paksakan berjalan maka kadang keseharian itu, kami hanya makan pisang atau ubi yang saya minta dari tetangga,” terangnya miris.
Keluarga saya sampai saat ini tidak merasa heran lagi apabila masyarakat sibuk mengurus administrasi yang menerima bantuan karena hinnga detik ini keluarga saya tidak pernah menerima bantuan dari pemerintah, NGO dan bantuan jenis lainnya, seperti yang selama ini, kami tidak pernah terdaftar sebagai penerima Beras Miskin (Raskin) yang disalurkan ke Desa-desa tetapi hanya karena keprihatinan masyarakat Desa Lologolu sehingga bantuan jenis beras raskin tersebut keluarga kami mendapatkan dengan cuma-cuma.
Harapan bertahan hidup
Keluarga Norima Gulo dalam menafkahkan hidup bersama putri sulungnya Dusia Gulo yang mengalami keterbelakangan mental (sakit jiwa) sebagian besar mengharapkan belas kasihan yang memberikan sedekah tanpa harus mereka minta atau mengemis. Kadang-kadang dalam seminggu mereka menerima sedekah dari berbagai yang memberikan, hingga mencapai Rp. 100 ribu, setelah menerima uang tersebut, maka Norima Gulo langsung membeli beras di warung dan sebagian dari uang tersebut untuk belanja lain.
Norima Gulo juga menjelaskan, kadang-kadang dalam satu minggu tidak pernah menerima pemberian orang, baik uang maupun jenis lainnya, maka harapannya untuk bisa bertahan hidup, terpaksa memaksakan diri mencari daun ubi kepada peternak untuk ditukar dengan secangkir beras.
“Kami tidak merasa aneh lagi bila kami tidak terdaftar sebagai penerima bantuan pemerintah sebab jarang sekali kami menerima bantuan karena kami tidak memiliki sedikit pun surat-surat seperti KTP, KK dan lain-lainnya, sebab kami tidak tahu bagaimana cara mengurusnya apalagi saya tidak bisa jalan-jauh, lebih-lebih saya orangnya buta huruf yang tidak tau apa-apa,” paparnya.
Padahal kehidupan kami ini, lanjutnya, sangat mengharapkan belas kasihan dari semua orang, terkadang kalau kami sakit, saya tidak bisa berbuat apa-apa, seperti berobat di rumah sakit sebab tidak mempunyai uang untuk biaya pengobatan, karena kami tidak mempunyai kartu sehat/BPJS, terpaksa penyakit yang kami derita kami biarkan begitu saja. “Selama keberadaan kami di gubuk ini, hingga saat ini belum pernah menerima uluran tangan dari pemerintah,” tutupnya. safenia gulo
:
comment 0 komentar
more_vert