MASIGNCLEANSIMPLE101

Penataan Ulang Pengusaan Tanah Adil Sudah Saatnya

Kebiasaan saya kalau sudah di kampung, sore hari selesai "ngantor" di sawah atau di kebun saya ngobrol dengan tetangga, sanak, famili yang sering datang bertandang sambil ngopi ditemani singkong rebus, pisang rebus, atau jagung rebus, pokoknya sangat asyiiikkk apalagi dibelai oleh hembusan udara pegunungan yang dingin, tentunya kain sarung menjadi pembalut tubuh yang tak pernah lepas.
Susno Duadji

Dahulu ketika saya masih sekolah Dasar sampai dengan tamat SMA semua penduduk kampung saya dan sanak famili saya yang tinggal di Kabupaten Lahat, Kota Pagaralam dan tempat lain di Sumatera Selatan ; pasti punya lahan pertanian yang luas, bahkan sangat luas, ada sawah, ada kebun kopi, ada kebun tanaman keras, ada kolam ikan, ada belukar (eks kebun yang biasanya sengaja dihutan-kan yang suatu saat nanti dijadikan kebun lagi), ada juga lahan ternak kerbau atau sapi, di samping lahan rumah dan pekarangan, pokoknya satu keluarga bisa punya lahan 20 sampai 25 Ha dan bisa lagi memperluas sesuai dengan tenaga kerja keluarga yang tersedia.

Struktur sosial masyarakat desa ; dihimpun dalam suatu Kesatuan Masyarakat Adat yang disebut Marga yang dipimpin oleh Depati/Pasirah Kepala Marga yang dipilih langsung oleh warga secara demokratis, walau biasanya ada pengaruh ketururunan/trah Depati/Pasirah sebelumnya. Masyarakat adat Marga ini mempunyai lahan yang dinamakan Hutan atau Tanah Marga yang dipelihara dan dikelola bersama yang tunduk pada aturan Kearifan Lokal yang sangat dipahami dan dipatuhi oleh semua warga, luas Hutan Marga ini bisa mencapai ratusan Ha.

Saat ini sungguh mengharukan, warga di kampung saya, dan juga warga kampung lain tidak lagi mempunyai tanah/lahan yang luas, lahannya semakin sempit karena ; dibagi secara turun temurun/ diwariskan, pengaruh budaya konsumtif ; lahan dijual, habisnya lahan kosong oleh para konglomerat dijadikan perkebunan dan HPH.

Akibatnya warga tidak bisa lagi membuka lahan baru. Sedihnya lagi penduduk desa yang dulu menggarap tanah sendiri, bahkan kelebihan lahan, sekarang menjadi ; buruh tani di kampung sendiri, meninggalkan kampung halaman pindah ke propinsi lain untuk mencari lahan, urbanisasi ke kota ; Palembang, Jakarta, dll menjadi buruh kasar yang tidak punya keahlian, atau merantau ke negeri Jiran menjadi TKI.

Kondisi yang menyedihkan dan menakutkan ini tidak terbayangkan sekian puluh tahun yang lalu, karena warna dinina bobokan oleh kepemilikan lahan yang luas nan subur. Dahulu hampir setiap keluarga punya ternak sapi, kerbau, kambing, dan punya kolam ikan ; sekarang hampir semua sirna.

Mau berternak, lahan ternak habis oleh perkebunan konglomerat, dan kolam ikan juga hampir habis karena berbagai sebab, termasuk masalah keamanan. Kondisi Penguasaan lahan secara Nasional juga berlaku untuk kampung halaman saya dan juga untuk Propinsi Sumatera Selatan walaupun tidak 100 % sama.

Demikian kondisi Lahan Nasional :

Sungguh sangatlah menghawatirkan, apalagi setelah terungkap bahwa ada satu perusahaan milik seorang konglomerat memiliki/menguasai lahan sampai 5 (lima) juta Ha, sungguh tidak adil.

Dari Data yang dilaporkan Bank Dunia tanggal 15 Desember 2015 menyebutkan ; sebanyak 74 % tanah di Indonesia dikuasai oleh 0,2% penduduk, tentunya termasuk juga penguasaan lahan 5 juta hektar oleh taipan yang pernah dinobatkan sebagai orang terkaya nomor satu di Indonesia (CNN Indonesia Kamis, 15/9/2016).

Boleh jadi hal ini menjadi penyebab timbulnya kegusaran salah seorang Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Hafid Abbas sehingga meminta agar pemerintah mengambil sebagian besar tanah yang dikuasai konglomerat besar di Indonesia. Tanah itu, kata Hafid, harus dibagikan kepada kelompok masyarakat miskin.

Benar juga ya ; Bukankah bumi dan air serta kekayaan yang terkandung di dalamnya harus dikuasi negara ????.

Lebih aneh lagi pemerintah menetapkan kawasan hutan lindung tanpa memperhatikan hak rakyat, hak ulayat dan hak adat lainnya.

Penentuan hutan lindung dirasakan Top Down ; main peta saja tanpa memperhatikan apakah di atas tanah tersebut ada hak warga dan hak ulayat atau hak adat.

Fakta di lapangan banyak kawasan menurut Peta Pemerintah masuk ke dalam kawasan hutan lindung atau hutan produksi, tapi faktanya kawasan tersebut adalah kawasan perkebunan milik rakyat yang sudah dikelola ratusan tahun secara turun temurun, dll.

Kiranya pemetaan hutan lindung, hutan produksi perlu ditata ulang dengan cara Bottom Up dengan memperhatikan hak milik rakyat dan hak adat lainnya.

Pengaturan penguasaan lahan perlu segera ditata ulang dengan cara ; membatasi penguasaan lahan, mengabil lahan yang sudah dikuasai oleh perorangan, korporasi, atau kelompok secara berlebihan untuk dikuasai oleh negara dan kemudian dibagikan kepada rakyat miskin yg tidak mempunyai lahan, membuat peraturan perundang-undangan yang mengatur pertanahan yang adil dan memihak kepada rakyat selaku pemilik negeri ini, dan menjadikan lahan sebagai sumber produksi komuditas pertanian unggulan dalam rangka menjadikan Indoneaia sebagai eksportir komuditas pertanian yang handal.

Permasalahan lahan/pertanahan ini apabila tidak diatur dan ditata ulang secara bijak dan adil memihak pada rakyat, maka akan menjadi bom waktu yang dahsyat, yang tinggal menunggu saat nya akan menjadi kedakan sosial yang dampaknya sangat mengerikan.

Semoga pemerintahan saat ini lebih peka dengan permasalahan penguasaan lahan sehingga kita berharap segera turun tangan.
Semoga !

Susno Duadji
-------------------------
~ Ketua Umum TP Sriwijaya
~ Ketua Komite Pemantau Pengawas Pertanian Indonesia
~ Penasehat Mitrapol
:
Unknown

:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:P
:o
-_-
(o)
[-(
:-?
(p)
:-s
(m)
8-)
:-t
:-b
b-(
:-#
=p~
$-)
(y)
(f)
x-)
(k)
(h)
(c)
cheer
(li)
(pl)