Pasal 11 Ayat 91 huruf a UU No.2 Tahun 2008 menegaskan bahwa partai politik berfungsi sebagai sarana pendidikan politik. Uraian dalam naskah akademik tentang urgensi pengaturan fungsi parpol untuk memberikan pendidikan politik ternyata di picu oleh beberapa hal, antara lain :
![]() |
Moh Fagih Difinubun |
Masih sedikitnya parpol yang mempunyai karakter partai kader dan masih sedikitnya parpol yang berkarakter pragmatik dan lebih banyak berkarakter karismatik serta konstituentik (partai massa). Partai massa menurut H. Hestu Toko Komonikasi Politik (Universitas Airlangga), lebih mengutamakan kekuatan berdasarkan jumlah anggota (kuantitas). Anggota atau konstituen biasanya berasal dari aliran politik yang berbeda-beda. Hal ini membuat program partai massa meluas, kabur, dan tidak terfokus?.
Penjelasan dalam risalah sidang menunjukan bahwa pengaturan fungsi pendidikan politik merupakan jawaban atas berbagai harapan dan ekspektasi masyarakat yang tinggi. Partai politik sebagai intstrumen kehidupan kenegaraan yang demokratis di nilai belum bisa menjalankan fungsinya secara baik dan ideal, sehingga kehidupan yang demokratis belum bisa di wujudkan.
Salah satu fungsi yang menjadi perioritas perubahan undang-undang parpol adalah fungsi pendidikan politik oleh parpol kepada anggota secara khusus, dan warga negara secara umum. Hal ini dibuktikan dengan pengaturan tersendiri fungsi pendidikan politik.
Kelemahan pengaturan fungsi pendidikan politik dalam naskah akademik dan risalah sidang antara lain : Pertama, konsep pendidikan politik yang ingin di munculkan dalam undang-undang parpol adalah konsep politik yang masi sangat abstrak. Konsep pendidikan politik menurut pasal 11 Ayat 1 huruf a dan pasal 31 UU No. 2 Tahun 2008 adalah rambu-rambuh bagi parpol untuk menciptakan metode dan sistematika pendidikan politik secara kongkret. Kedua, pembebasan metode dan sistematika pendidikan politik yang di munculkan oleh undang-undang parpol akan berdampak positif dan negetif.
Dampak positif muncul sebab setiap parpol di beri ruang untuk berkreasi dan berpikir konstruktif menciptakan metode dan sistematika pendidikan politik yang sesuai dengan karakter parpol tersebut dan para konstituennya.
Dampak negatifnya adalah pendidikan politik di khawatirkan mengunakan cara doktirnasi yang menyebabkan lahirnya kader yang tidak berpikir secara luas. Artinya, dogma yang diberikan adalah untuk kepentingan partai politik, bukan kepentingan bangsa dan negara.
Proses pendidikan politik tidak hanya di lakukan dalam masa kampannye. Pendidikan politik bisa di mulai oleh parpol dari proses pendidikan kader-kadernya, terkait dengan tugas-tugas kenegaraan yang muncul akan diembanya nanti. Kader harus punya kemampuan dan kepekaan terhadap tugas-tugas yang harus di lakukan sebagai calon pemimpin negara. Pendidikan politik harus selalu memperhatikan partisipasi aktif para kader dan warga negara.
Olehnya itu, pendidikan politik harus di lakukan dengan etika dan budaya yang selaras dengan nilai-nilai Pancasila, yang merupakan pengaturan yang tepat sebab Pancasila adalah jiwa bangsa. Pembentukan norma yang sesuai dengan budaya masyarakat (jiwa masyarakat) akan melahirkan rasa keadilan daalam masyarakat, dalam hal ini masyarakat Indonesia yang bercorak religius, bertata krama mengedepankan komunalisme (gotong royong).
Di samping itu pemberian norma yang sesuai dengan kebudayaan juga mempermudah masyarakat dalam menjalankan aturan yang ada karena sesuai dengan karakter bangsa.
Oleh Moh Fagi Difinubun
(Mantan Presiden Mahasiswa IAIN Ambon)
:
comment 0 komentar
more_vert