MITRAPOL.com – Berkat warisan usaha Selai Strawberry milik keluarganya yang kini turun kepadanya. Herni Christiany Monteiro wanita kelahiran Lembang 28 November 1972 yang merupakan salah satu cucu Adolph Bernard Monteiro.
Sebagai cucu dan keturunan Adolph Bernard Monteiro, Herni Christiany Monteiro terus menjaga peninggalan resep turun temurun dan terus melestarikan cita rasa khas selai strawbery nya hingga sampai saat ini.
Wanita yang kini masih bertahan menekuni usaha warisan kakeknya ini bertempat di Kampung Ciburiang RT 01/02 Cibogo Lembang, Kecamatan Lembang, Bandung Barat.
Kepada MITRAPOL.com, Herni saat ditemui menceritakan bahwa tempat ini merupakan tempat bersejarah yang keasrian nya masih dijaga sampai saat ini.
“Namun semenjak generasi ketiga, yakni saya (Herni-red). Dimana usaha ini kian meredup dari masa kejayaannya sehingga tempat ini membutuhkan uluran tangan dari kita semua dan pemerintah. Karena ini merupakan warisan budaya yang harus terus dijaga,” ucap Herni, Rabu (31/07/2018).
Sambil memperlihatkan beberapa lembar kertas fotokopian, dan puluhan botol selai serta YH Dodol Strawberry Milk di atas meja. Kembali Herni memaparkan bahwa Monteiro yang dulu dikenal sebagai nama produk selai ini berasal dari nama keluarga kami.
“Menilik namanya saja Adolph Bernard Monteiro bukanlah orang Indonesia. Tapi Beni, begitu nama kecilnya, tak pernah melihat negeri lain selain Indonesia selama hidupnya. Beni dilahirkan di Manado pada tahun 1917 dari ayah kelahiran Blitar bernama Herman Christian Monteiro dan ibu kelahiran Cirebon, Eugenie Geerath,” beber Herni saat mengulas garis keturunannya itu.
Dari garis ayahnya, Beni mendapatkan darah Portugis, sementara dari ibunya darah Belanda. Konon kakeknya datang dari Portugis ke Indonesia bersama dua orang saudaranya untuk berkelana. Mungkin mencari penghidupan di negeri yang sempat berada dalam kekuasaan Portugis ini. Kakeknya wafat dan dimakamkan di Banyuwangi, sementara kedua saudara kakeknya tak ada kabar berita. Makam kakeknya masih ada di Banyuwangi, namun Beni tak pernah melihatnya langsung.
Masa kecil dan remaja Beni dihabiskan di Pekalongan. Karena kenakalannya, sekolahnya berantakan. Ia hanya mengecap pendidikan sampai kelas 3 SD saja. Saat itu ia lebih senang blusukan ke kampung untuk mengadu ayam atau jangkrik daripada bersekolah. Untunglah ia masih sempat belajar membaca dan menulis. Bekal kecil ini yang membuatnya gemar mengoleksi dan membaca buku- buku filsafat di kemudian hari, terutama karya- karya MAW Brouwer.
Pada tahun 1941 terjadi Perang Dunia II. Saat itu usia Beni 24 tahun dan ia bekerja bertani membantu ayahnya yang ahli pertanian. Namun perang menyeretnya untuk ikut mobilisasi massa dan masuk ketentaraan KNIL. Tahun 1942 Beni menjadi tawanan Jepang dan dipekerjakan secara paksa untuk membangun sebuah lapangan terbang di Pulau Amahai, Ambon. Seluruh keluarganya tercerai berai tak tentu rimba. Selama menjadi tawanan Jepang, Beni mengalami banyak kekerasan yang membuatnya trauma hingga kini. Pekerjaan yang terlalu berat bahkan membuatnya mengidap pembengkakan jantung. Dan kelaparan sudah menjadi pengalamannya sehari-hari.
Beni bertahan hingga Indonesia mencapai kemerdekaan di tahun 1945. Beni yang bebas segera berjuang keras untuk mendapatkan pekerjaan. Nasibnya sedang mujur, ia diterima bekerja di Amacap, suatu lembaga yang bergerak di bidang sosial. Pengalamannya dengan dunia pertanian membuatnya dipekerjakan untuk mengolah suatu lahan pertanian di Lembang. Hasil tani ini dipakai oleh rumah sakit-rumah sakit yang berada di Bandung.
Sekitar tahun 1948, Beni dan kawannya keluar dari Amacap dan mendirikan sebuah kelompok tani. Mereka menyewa tanah dan menanam arbei serta sayuran. Ketika itu produksi arbei dari Lembang sedang sangat bagus. Dalam satu hari, Beni bisa memetik arbei sampai seberat 1 kuintal.
Organisasi bentukan Beni tidak bertahan lama, bahkan kemudian terjadi boikot terhadap warga Belanda dan Eropa. Beni kemudian berusaha sendiri dengan berbagai keterbatasan. Sampai sini persoalannya belum selesai karena strawberry miliknya tidak diterima lagi oleh pabrik-pabrik yang melihatnya sebagai seorang Belanda.
“Saat itu semangat nasionalisme di Indonesia sedang tinggi dan di mana-mana terjadi gerakan antiasing,” ucap Herni mengisahkan perjuangan kakeknya waktu itu.
Beni tidak menyerah, sebuah ide lain segera muncul. Ia berpikir mungkin tumpukan strawberry di gudangnya bisa diolah menjadi selai. Setelah membuat beberapa eksperimen, Beni menemukan olahan yang dianggapnya pas tanpa menggunakan campuran apapun. Selai ini dipasarkannya sendiri ke masyarakat sekitar dengan merek Monteiro & Sons. Banyak orang asing yang tinggal di sana menggemarinya, terutama karena rasanya yang khas dan pembuatannya yang tidak menggunakan bahan-bahan kimia.
“Usaha yang tidak besar ini dikelolanya sendiri dibantu istrinya, mojang asli Lembang, dan anak-anaknya. Ia juga mempekerjakan 10 orang pegawai untuk membantunya. Usaha ini tidak selalu berjalan mulus. Walaupun selai buatannya yang diberi merek Monteiro & Sons itu sudah cukup dikenal luas, tetapi bahan baku buah arbei tidak selalu tersedia dari kebunnya sehingga kadang-kadang ia harus mendatangkannya dari tempat lain seperti Sukabumi. Lalu pengemasannya pun punya masalah sendiri, untuk pengemasan selainya Monteiro mendapatkan botol-botol ini,” tutup Herni.
Reporter : NN
![]() |
Herni Christiany Monteiro keturunan generasi ketiga Adolph Bernard Monteiro |
Sebagai cucu dan keturunan Adolph Bernard Monteiro, Herni Christiany Monteiro terus menjaga peninggalan resep turun temurun dan terus melestarikan cita rasa khas selai strawbery nya hingga sampai saat ini.
Wanita yang kini masih bertahan menekuni usaha warisan kakeknya ini bertempat di Kampung Ciburiang RT 01/02 Cibogo Lembang, Kecamatan Lembang, Bandung Barat.
Kepada MITRAPOL.com, Herni saat ditemui menceritakan bahwa tempat ini merupakan tempat bersejarah yang keasrian nya masih dijaga sampai saat ini.
“Namun semenjak generasi ketiga, yakni saya (Herni-red). Dimana usaha ini kian meredup dari masa kejayaannya sehingga tempat ini membutuhkan uluran tangan dari kita semua dan pemerintah. Karena ini merupakan warisan budaya yang harus terus dijaga,” ucap Herni, Rabu (31/07/2018).
Sambil memperlihatkan beberapa lembar kertas fotokopian, dan puluhan botol selai serta YH Dodol Strawberry Milk di atas meja. Kembali Herni memaparkan bahwa Monteiro yang dulu dikenal sebagai nama produk selai ini berasal dari nama keluarga kami.
“Menilik namanya saja Adolph Bernard Monteiro bukanlah orang Indonesia. Tapi Beni, begitu nama kecilnya, tak pernah melihat negeri lain selain Indonesia selama hidupnya. Beni dilahirkan di Manado pada tahun 1917 dari ayah kelahiran Blitar bernama Herman Christian Monteiro dan ibu kelahiran Cirebon, Eugenie Geerath,” beber Herni saat mengulas garis keturunannya itu.
Dari garis ayahnya, Beni mendapatkan darah Portugis, sementara dari ibunya darah Belanda. Konon kakeknya datang dari Portugis ke Indonesia bersama dua orang saudaranya untuk berkelana. Mungkin mencari penghidupan di negeri yang sempat berada dalam kekuasaan Portugis ini. Kakeknya wafat dan dimakamkan di Banyuwangi, sementara kedua saudara kakeknya tak ada kabar berita. Makam kakeknya masih ada di Banyuwangi, namun Beni tak pernah melihatnya langsung.
Masa kecil dan remaja Beni dihabiskan di Pekalongan. Karena kenakalannya, sekolahnya berantakan. Ia hanya mengecap pendidikan sampai kelas 3 SD saja. Saat itu ia lebih senang blusukan ke kampung untuk mengadu ayam atau jangkrik daripada bersekolah. Untunglah ia masih sempat belajar membaca dan menulis. Bekal kecil ini yang membuatnya gemar mengoleksi dan membaca buku- buku filsafat di kemudian hari, terutama karya- karya MAW Brouwer.
Pada tahun 1941 terjadi Perang Dunia II. Saat itu usia Beni 24 tahun dan ia bekerja bertani membantu ayahnya yang ahli pertanian. Namun perang menyeretnya untuk ikut mobilisasi massa dan masuk ketentaraan KNIL. Tahun 1942 Beni menjadi tawanan Jepang dan dipekerjakan secara paksa untuk membangun sebuah lapangan terbang di Pulau Amahai, Ambon. Seluruh keluarganya tercerai berai tak tentu rimba. Selama menjadi tawanan Jepang, Beni mengalami banyak kekerasan yang membuatnya trauma hingga kini. Pekerjaan yang terlalu berat bahkan membuatnya mengidap pembengkakan jantung. Dan kelaparan sudah menjadi pengalamannya sehari-hari.
Beni bertahan hingga Indonesia mencapai kemerdekaan di tahun 1945. Beni yang bebas segera berjuang keras untuk mendapatkan pekerjaan. Nasibnya sedang mujur, ia diterima bekerja di Amacap, suatu lembaga yang bergerak di bidang sosial. Pengalamannya dengan dunia pertanian membuatnya dipekerjakan untuk mengolah suatu lahan pertanian di Lembang. Hasil tani ini dipakai oleh rumah sakit-rumah sakit yang berada di Bandung.
Sekitar tahun 1948, Beni dan kawannya keluar dari Amacap dan mendirikan sebuah kelompok tani. Mereka menyewa tanah dan menanam arbei serta sayuran. Ketika itu produksi arbei dari Lembang sedang sangat bagus. Dalam satu hari, Beni bisa memetik arbei sampai seberat 1 kuintal.
Organisasi bentukan Beni tidak bertahan lama, bahkan kemudian terjadi boikot terhadap warga Belanda dan Eropa. Beni kemudian berusaha sendiri dengan berbagai keterbatasan. Sampai sini persoalannya belum selesai karena strawberry miliknya tidak diterima lagi oleh pabrik-pabrik yang melihatnya sebagai seorang Belanda.
“Saat itu semangat nasionalisme di Indonesia sedang tinggi dan di mana-mana terjadi gerakan antiasing,” ucap Herni mengisahkan perjuangan kakeknya waktu itu.
Beni tidak menyerah, sebuah ide lain segera muncul. Ia berpikir mungkin tumpukan strawberry di gudangnya bisa diolah menjadi selai. Setelah membuat beberapa eksperimen, Beni menemukan olahan yang dianggapnya pas tanpa menggunakan campuran apapun. Selai ini dipasarkannya sendiri ke masyarakat sekitar dengan merek Monteiro & Sons. Banyak orang asing yang tinggal di sana menggemarinya, terutama karena rasanya yang khas dan pembuatannya yang tidak menggunakan bahan-bahan kimia.
![]() |
“Usaha yang tidak besar ini dikelolanya sendiri dibantu istrinya, mojang asli Lembang, dan anak-anaknya. Ia juga mempekerjakan 10 orang pegawai untuk membantunya. Usaha ini tidak selalu berjalan mulus. Walaupun selai buatannya yang diberi merek Monteiro & Sons itu sudah cukup dikenal luas, tetapi bahan baku buah arbei tidak selalu tersedia dari kebunnya sehingga kadang-kadang ia harus mendatangkannya dari tempat lain seperti Sukabumi. Lalu pengemasannya pun punya masalah sendiri, untuk pengemasan selainya Monteiro mendapatkan botol-botol ini,” tutup Herni.
Reporter : NN
:
comment 0 komentar
more_vert