MITRAPOL.com - Emilia Takao (38) selaku pendiri dan Direktur Utama PT. World Brother Indonesia mengucapkan rasa syukur kepada kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa atas bantuan semua pihak sehingga niat baik untuk membantu bagi masayarakat yang tidak mampu tetap mendapatkan hak sama dalam belajar, terlebih bahasa asing.
![]() |
Emilia Takao |
"Mereka yang kurang mampu patut kita perhatikan, untuk belajar bahasa asing, kan lumayan mahal jadi bagi mereka yang punya kemauan keras dan tekun serta bertekad sukses dengan ingin menguasai bahasa jepang bisa bergabung di World Brother Indonesia. Pintu kami selalu terbuka untuk kalian," papar Emilia Takao kepada mitrapol.com.
Kepada mitrapol.com Emilai Takao memaparkan kilas balik perjalanan hidup nya hingga kini sukses mendirikan PT. World Brother Indonesia.
Dikatakan Emilia, Pertama kali saya mengenal Jepang pada tahun 1999 saat mengikuti pertukaran budaya antara Jepang dan Indonesia. Jepang begitu berkesan buat saya setelah beberapa Negara yang pernah saya kunjungi, dan pada tahun 2001 saya memutuskan untuk belajar dan berjuang di Negeri Sakura Jepang.
“Perjalanan yang tidak mudah untuk saya bisa beradaptasi di negara yang sangat jauh berbeda budaya dan bahasa. Hanya bermodal bahasa Jepang yang pas-pas an yang pernah saya pelajari sewaktu di Indonesia, saya bertekad untuk berjuang di Negeri ini. Hal pertama kali yang saya lakukan adalah memperdalam bahasa Jepang di mana saya memilih Sakura International Language Teaching College yang berada di daerah yamaguchi Kyushu sebagai tempat saya untuk belajar pertama kali,” terang Emilia.
Pada tahun 2003, saya hijrah ke daerah Fukuoka dimana saya bertempat tinggal hingga sampai saat ini, dengan bahasa yang sedikit di kuasai, saya memutuskan untuk menerapkannya di masyarakat umum Jepang.
Keinginan yang kuat untuk dapat melanjutkan pendidikan kembali begitu besar dan bukan titel yang dikejar tapi pengetahuan yang ingin saya raih. Namun semua tak mudah karena terbentur biaya yang begitu besar. “Saya mesti bekerja keras dulu untuk dapat mewujudkan cita-cita yang saya punya,” paparnya.
Suka duka dalam menjalani pekerjaan di Jepang begitu banyak, kedisiplinan waktu yang mereka terapkan begitu besar, semangat yang tinggi dan tekun dalam bekerja adalah ciri khas orang Jepang yang patut saya teladani.
“Masih teringat dimana pertama kali saya bekerja part time atau Arubaito di sebuah Izakaya atau kedai makanan Jepang. biar sehari hanya 5 jam saya bekerja tapi begitu banyak hikmah dan pelajaran yang saya
Jam kerja yang hanya saya dapatkan selama 5 jam di Izakaya menimbulkan ketidakpuasan buat saya yang mempunyai waktu luang selama 12 jam. Silih berganti saya coba belajar dan mendapatkan penghasilan selama masa pembelajaran kehidupan di Jepang.
Berbagai pekerjaan berat juga sudah jalani, dari menjadi sales kosmetik sampai menjadi bedmake di sebuah hotel wisata di Jepang, hingga akhirnya bekerja pada sebuah restoran Italia sebagai asisten cook.
“Hampir setahun saya jalani bekerja part time dari pagi hingga malam, hingga saya dapat mengumpulkan modal dan biaya, dan akhirnya saya putuskan untuk belajar mengenai culture budaya kerja atau bisnis serta mendalami bahasa Jepang di Human Academy Japanese Language School di daerah tenjin Fukuoka Kyushu pada tahun tahun 2004, mungkin disinilah awal perjalanan hidup saya untuk kedepan. Karena disinilah saya bertemu dengan seseorang yang selalu jadi pendamping saya sampai saat ini dalam berjuang di Begeri Sakura. Seorang pribumi Jepang dengan sosok yang selalu tenang dan bijaksana, yang tak pernah lelah menuntun saya untuk selalu belajar dalam perjuangan, yang selalu memberikan support nya pada setiap apa yang saya rencanakan dan ingin saya lakukan,” ungkapnya.
Satu-satu nya tempat saya berlindung dan berkomunikasi dalam setiap hal, dia seperti kakak, teman, dan juga konsultan buat saya. Perbedaan yang ada pada kami khususnya dalam adat istiadat, bahasa dan agama adalah faktor kami untuk bisa saling mengisi, mengajari dan membimbing disetiap saat yang kami tuang ke dalam ikatan sebuah perkawinan antar bangsa. “Meski tidak mudah menyatukan segala hal yang berbeda namun dengan kebersamaan dan dengan prinsip sama-sama membangun akhirnya saya jalani hidup berkeluarga di Negeri Sakura. Dengan status baru dan banyaknya kesulitan-kesulitan dan kewajiban yang harus dilalui dan diterima semangat pun tertanam kuat. Dengan pernikahan dan dikarunia anak-anak perjuangan hidup pun semakin ketat,” ucapnya.
Setelah 2 tahun berkeluarga dan selalu diam dirumah membawa saya dalam suatu kejenuhan meskipun saya dapat belajar beradaptasi dan berbaur hidup ditengah penduduk Jepang dan berkomunikasi dengan warga setempat.
Perbedaan tradisi yang ada sangat menguji kesabaran dalam menjalani kehidupan di Jepang. Begitu irinya saya melihat rutinitas para Ibu-ibu muda di Jepang, yang sibuk dengan berbagai aktivitas. Akhirnya saya tersadar bahwa saya mempunyai suatu tujuan yang belum saya selesaikan, akhirnya tumbuh semangat baru dalam diri saya.
"Saya harus bergerak seperti layaknya wanita Jepang yang sudah berkeluarga pada umumnya dimana mempunyai posisi sebagai seorang istri, ibu dan juga seorang pekerja. Saya pun ingin menjalani hal yang sama. Lebih dari itu karena melihat profesi suami sebagai seorang arsitek dengan seringan nya melihat suami membuat grafik yang akhirnya menjelma menjadi sebuah gedung telah melahirkan motivasi untuk saya juga bisa bersama-sama membangunkan masa depan yang baik untuk anak-anak,” imbuhnya.
Meskipun suami saya mempunyai pekerjaan yang bisa dibilang mapan namun saya tidak bisa hanya berpangku tangan. Sebagai seorang wanita dan istri saya tergerak hati untuk dapat kiranya menerapkan pengalaman yang saya punya untuk bisa bersama-sama membangun hidup yang lebih baik tanpa mengurangi tugas sebagai seorang ibu dan seorang istri. “jika selama 2 tahun setelah berkeluarga saya hanya di sibukkan dengan kegiatan keluarga dan perkumpulan organisasi, maka sudah saatnya saya mencoba menerapkan kemampuan saya, untuk bisa berguna buat orang lain,” kata Emilia.
Dengan berfikir susahnya mencari restoran yang menghidangkan masakan Indonesia akhirnya timbul niat saya untuk membuka sesuatu yang dapat mengenalkan citra rasa masakan Indonesia kepada warga penduduk Jepang dan juga membantu rekan Indonesia yang sedang berada di Jepang untuk bisa setiap saat melepaskan rindu nya akan masakan Indonesia.
Selama ini melihat dari kebahagiaan saudara setanah air yang begitu bahagia nya bisa menyantap masakan Indonesia saat acara di rumah akhirnya dengan bermodalkan hobi memasak saya, dan support keluarga dan rekan-rekan, saya coba beranikan diri untuk memasarkan masakan Jepang secara online, “ternyata usaha saya disambut baik oleh rekan-rekan semua, bahkan tidak sedikit penduduk asli Jepang juga ikut memesannya. Beberapa tahun saya jalani usaha online makanan jadi ini, hingga tahun 2013 saya mencoba bergabung dengan rekan saya membuka sebuah restoran yang menyediakan berbagai macam masakan Indonesia. Dimana pertama kali saya sendiri yang turun tangan untuk memasaknya,” jelasnya.
Ternyata bukan cuma warga perantau dari tanah air yang menyambut baik, penduduk Jepang pun begitu menyukai masakan Indonesia yang bercita rasa pedas. “Dulu yang penduduk Jepang hanya tahu makanan Indonesia itu terdiri dari nasi goreng dan mie goreng sekarang mereka (penduduk Jepang), tahu bahwa Indonesia mempunyai banyak ragam cita rasa masakan yang begitu nikmat,” cetusnya.
Biarpun kadang, katanya, terbentur dengan bahan dan bumbu pokok, namun Alhamdulillah tidak pernah jauh dari rasa asli Indonesia. “Melihat minat warga Jepang akan masakan Indonesia terbersit dalam pikiran saya untuk memperbesar usaha dan lebih mengenalkan masakan Indonesia bukan hanya dilingkungan tempat tinggal saya, melainkan keseluruh penjuru Jepang. Namun semua membutuhkan modal yang besar akhirnya sambil mengurus restoran saya memutuskan untuk memcari kerja kembali,” ujarnya. znd (bersambung)
:
comment 0 komentar
more_vert