Tanah sangat penting dalam kehidupan umat manusia, bukan saja karena nenek moyang umat manusia Nabi Adam As diciptakan dari tanah, tapi kehidupan umat manusia berada di atas tanah, manusia hidup perlu perumahan berarti perlu tanah, manusia hidup perlu ruang gerak untuk mencari rezeki (bertani, berternak, berdagang, dll) juga memerlukan tanah, industri kecil sampai skala besar juga perlu tanah, pemerintah untuk membangun berbagai sarana prasarana juga perlu tanah, bahkan diakhir hayatnya manusia perlu dikubur artinya juga perlu tanah.
![]() |
Penguasaan tanah di Indonesia ada hak ; milik, hak guna, dll. Namun tidak kalah pentingnya bahwa sebelum lahirnya NKRI di Bumi Nusantara ini sudah ada masyarakat adat, yang penguasaan atas tanahnya diakui sebagai hak milik turun temurun (tanpa sertifikat) dan ada juga tanah adat yang dikenal dengan Hak Ulayat (Hak masyarakat adat atas tanah milik bersama).
Di Sumatera Selatan dahulu Masyarakat Adat dihimpun dalam wadah Marga yang dikepalai oleh Kepala Marga yang merupakan Kepala Adat dan sejak zaman Pemerintahan kolonial Belanda juga berperan sebagai Pemerintah untuk tingkat Marga, Kepala Marga disebut Pasirah Kepala Marga, disebut juga Depati, dan kalau terpilih lebih dari satu priode bergelar Pengiran.
Kepala Marga atau Pasirah inilah yang sangat berperan mengatur pemeliharaan dan penggunaan tanah adat/tanah ulayat dengan menerapkan hukum adat yang ketat, yang diistilahkan kearifan lokal.
Tanah dikelolah dan dipelihara dengan kearifan lokal; tanah utuh, terawat, dapat mencukupi keperluan masyarakat adat untuk berbagai keperluan ; kayu untuk perumahan, lahan peternakan, persawahan, kebun, hutan larangan sebagai resapan dan tangkapan air, untuk menghasilkan dan memenuhi kebutuhan rotan, damar, dan areal perburuan.
Dengan adanya masyarakat adat dan penerapan hukum adat yang ketat oleh Kepala Adat maka peruntukan lahan menjadi terjaga dengan baik.
Di Sumatera Selatan seiring dihapuskan nya Marga sebagai Satuan Masyarakat Adat, dan diganti dengan Desa atau Kelurahan mencontoh Pulau Jawa, maka Hukum Adat untuk pengelolaan tanah menjadi hilang, semua ditake over dengan hukum positif.
Bertambah parah lagi dengan masuk nya pemodal/investor baik lewat pemda kabupaten , propinsi atau pemerintah pusat yang memporak porandakan tanah ulayat menjadi ; areal HPH, areal perkebunan, dan areal pertambangan.
Karena Marga dihilangkan, tidak ada fungsinya lagi maka masyarakat adat menjadi kesal dan kecewa dengan adanya semacam "kesewenangan" pemerintah terhadap tanah adat/ tanah ulayat milik mereka yang dijadikan berbagai keperluan oleh investor, dan sebagian dijadikan kawan hutan lindung dan hutan produksi oleh pemerintah sehingga masyarakat adat merasa tersingkir di "bumi milik mereka".
Dampaknya apa ?
Banyak sekali dampak buruk yang ditimbulkan antara lain ; karena masyarakat adat tidak lagi mempunyai tanah ulayat maka masyarakat adat tidak mau ikut memelihara dan melestarikan kawasan hutan ulayat, bahkan ikut merusak dengan menebang pohon sembarangan, berladang liar dll.
Sangat terbatas ketersediaan lahan untuk perluasan atau mencetak kebun dan sawah baru padahal jumlah penduduk bertambah.
Sering kali terjadi bentrokan akibat sengketa lahan antara rakyat dengan konglomerat yg menguasai lahan luas untuk perkebunan, hph, tambang, dll.
Terjadi urbanisasi dari desa ke kota sebagai akibat kekurangan lahan rakyat untuk berkebun, bersawah, beternak.
Terjadi kesenjangan kesejahteraan yang demikian menyolok antara konglomerat penguasa lahan dan rakyat disekitar sebagai pemilik asli dari lahan.
Kondisi kesenjangan sosial yang demikian dapat menimbulkan kecemburuan sosial, dan dampaknya sangat berbahaya bagi keamanan dan dapat mengganggu stabilitas kemanan negara.
Kondisi kepemilikan lahan ini sangatlah menghawatirkan, apalagi setelah terungkap bahwa ada satu perusahaan milik seorang konglomerat memiliki/menguasai lahan sampai 5 juta Ha, sungguh tidak adil.
Data yang dilaporkan Bank Dunia tanggal 15 Desember 2015 menyebutkan ; sebanyak 74 % tanah di Indonesia dikuasai oleh 0,2 % penduduk, tentunya termasuk juga penguasaan lahan 5 juta hektar oleh taipan yang pernah dinobatkan sebagai orang terkaya nomor satu di Indonesia.
Boleh jadi hal ini menjadi penyebab timbulnya kegusaran salah seorang Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Hafid Abbas sehingga meminta agar pemerintah mengambil sebagian besar tanah yang dikuasai konglomerat besar di Indonesia. Tanah itu, kata Hafid, harus dibagikan kepada kelompok masyarakat miskin.
Benar juga ya ; Bukankah bumi dan air serta kekayaan yang terkandung di dalamnya harus dikuasai negara ????.
Semoga saja pemerintah sekarang di bawah Presiden Jokowi-Jk memihak kepada rakyat sehingga ketimpangan atas penguasaan tanah ini menjadi prioritas utama untuk segera ditertibkan. Jangan sampai negara ini, NKRI menjadi milik sekelompok kecil taipan, yang semakin lama semakin kaya dan semakin berkuasa.
Semoga tidak ada lagi penggusuran terhadap rakyat demi memenuhi keinginan pemilik modal untuk menguasai lahan atau memperluas lahan nya, justru penggusuran harus segera dilakukan oleh Pemerintah kepada lahan yang dimiliki oleh taipan yang terlalu luas (perkebunan, HPH, property, dll) untuk segera dibagikan kepada rakyat miskin.
Dan juga masyrakat sangat berharap kepada Pemerintah agar tidak lagi memberikan ijin untuk penggunaan tanah kepada konglomerat dalam sekala besar baik untuk perkebunan, HPH, peoperty, atau apapun juga alasan dan peruntukannya.
Memperhatikan penguasaan lahan saat ini sungguh menyedihkan dan menyakitkan, nampak sekali ketidak adilan karena lahan di semua kawasan ; perkotaan, pedesaan, hutan, dikuasai hanya oleh beberapa orang taipan untuk mewujudkan keserakahan menambah kekayaan pribadi yang dampaknya melahirkan kaum miskin yang semakin bertambah.
Kita penuh harap, dan kita yakin bahwa mayoritas komponen bangsa akan mendukung sepenuhnya kalau Pemerintah melakukan kebijakan penertiban penguasaan lahan yang berlebihan oleh secuil taipan rakus.
Semoga !
Susno Duadji, Palembang 25 Oktober 2016.
~ Ketua Umum TP Sriwijaya
~ Ketua Komite Pemantau Pengawas Pertanian Indonesia
~ Penasehat Syarikat Dagang-Syarikat Islam
~ Datuk Patani Sumsel
:
comment 0 komentar
more_vert