MITRAPOL.com – Pembodohan serta membuat bodoh dan membodohi masyarakat sangat sudah fatal terjadi di Dharmasraya, Sumatera Barat.
Pembohongan serupa dengan peristiwa Mesuji kiranya bisa kita tanyakan kepada penduduk Nagari Tanjung Alam, salah satu nagari terpelosok di Kabupaten Dharmasraya, atau bisa pula kita tanyakan kepada warga Gunung Medan terkait perjanjian pola pembagian antara Plasma dan kebun inti dengan PT. AWB, atau bisa pula kita tanyakan kepada warga Sungai Besar di Nagari Asam Jujuhan mengapa mereka kaget ketika BPN Larasita menyatakan bahwa luas lahan yang tersisa dari kampung mereka tidak lebih dari tiga hektar pada tahun 2010 lalu, atau bisa pula kita tanyakan kepada warga Sitiung empat kecamatan Koto Besar mana sebenarnya batas antara kebun plasma dengan kebun Inti di belakang rumah mereka yang dikelola oleh KUD setempat.
Untuk pertanyaan serupa lainnya silahkan anda tambahkan sendiri?.
Masyarakat Kabupaten Dharmasraya boleh berbangga bahwa daerahnya merupakan lahan yang subur untuk berbagai tanaman perkebunan, tapi pernahkan kita beranalisa bahwa sesungguhnya kita berada dalam buaian “Kemakmuran”, sementara itu tanpa kita sadari sesungguhnya harga beli yang dilakukan perusahaan pembawa “Kemakmuran” tersebut terhadap hasil kebun masyarakat Dharmasraya ternyata sangat rendah sekali.
Apakah anda masyarakat Kabupaten Dharmasraya berharap pemerintah daerah punya power?. Dalam masalah menetralisir nilai harga yang kurang membahagiakan tersebut?. Jawabannya bisa saja iya bisa juga tidak.
Harga rendah yang diterapkan kepada petani sawit dan karet ketika perusahaan membeli hasil kebun warga dipoles dengan berbagai alasan, bisa saja itu disebabkan sortiran buah, atau kualitas karet yang tidak bagus (banyak sampah) dan lain-lain sebagainya, ini sudah lazim terjadi di Dharmasraya.
Ketika masyarakat Kabupaten Dharmasaraya tidak tahu lagi kemana harus mengadu, terkait perilaku perusahaan yang sesuka mereka menetapkan harga, apalagi yang harus dilakukan?. Ditambah lagi dengan kelakukan “centeng lokal” yang pandainya cuma memakan kebawah, akhirnya masyarakat cuma bisa berharap, hari demi hari bulan demi bulan tahun ke tahun, harapan itu tumbuh pula bersama dendam ketidak adilan yang terjadi setiap petani menjual hasil perkebunan mereka ke perusahaan, sementara itu aparat Pemerintah Daerah seakan “Mandul” menghadapi kesenjangan sosial yang terjadi antara warganya dengan Perusahaan pembawa “kemakmuran” ini.
Pertanyaan berikutnya apa kira-kira alasan yang cukup untuk kita menjawab seandainya Kabupaten Dharmasraya Menjadi “Mesuji ke-Dua”, ketika petaninya tidak tahu lagi harus mengadu kemana.
Reporter : efrizal
:
comment 0 komentar
more_vert