MITRAPOL.com - Kasus antara Masyarakat dan Perusahaan Perkebunan Sawit yang ada di Dharmasraya seperti bisul yang menanti untuk meletus suatu hari.
Sebelas tahun yang lalu tepatnya pada tanggal 3 Juni 2003, seorang pemuda sebut saja berinsial IS, telah mengantongi sebuah surat kuasa “Penting” berasal dari petinggi adat kampungnya, surat kuasa ini berisi penyerahan tanah ulayat.
Oleh IS surat tersebut diberikan kepada Bupati Sawahlunto/Sijunjung, dikemudian hari surat penyerahan tersebut di kenal dengan nama Surat Kuasa/Keterangan Penyerahan Tanah tertanggal 19 Agustus 2003.
Surat kuasa penyerahan tanah tersebut berlaku efektif dalam satu tahun, artinya jika dalam waktu satu tahun pihak yang diberi wewenang dalam surat penyerahan tanah dimaksud, tidak melakukan pengolahan maka dengan sendirinya Surat Kuasa/Keterangan Penyerahan Tanah tersebut batal dengan sendirinya. Pada kenyataannya benar bahwa tanah yang dimaksud pada surat kuasa dalam waktu satu tahun tidak dilakukan pengolahannya, artinya Surat Kuasa/Keterangan Penyerahan Tanah dengan sendirinya batal.
Hari berganti musim berubah, pada tahun 2005 lalu masih dalam kawasan tanah yang sama, terjadi lagi tindak penyerahan tanah kepada pihak C yang dalam hal ini adalah PT. Andalas Wahana Berjaya (PT. AWB), penyerahan ini dilakukan oleh seseorang bersama kelompoknya dalam hal ini diinisialkan dengan Pihak A dimana penyerahan tersebut tertuang dalam akta perjanjian tanggal 27 Oktober 2005 No. 79 dan 80. Dimulai pada tahun tersebut pihak C secara estafet melakukan penggarapan lahan untuk perkebunan sawit di kawasan tanah ulayat Kenagarian Gunung Medan.
Penyerahan ini dikemudian hari diketahui bermasalah, salah seorang pemangku adat di kenagarian Gunung Medan melakukan gugatan, sesuai prosedur hukumnya gugatan tersebut diajukan ke Pengadilan Negeri Muaro tertanggal 17 Juni 2009 dan diputuskan dalam rapat Majelis Hakim pada hari Senin tanggal 22 Februari 2010 dan diumumkan dalam persidangan umum pada hari Kamis tanggal 25 Februari 2010.
Jika boleh diibaratkan dengan sekuntum bunga yang hendak mekar, disinilah mulanya benih-benih spora itu siap di ledakkan. Cuma saja realitanya Spora disini adalah benih-benih konflik yang siap mengantarkan Nagari Gunung Medan kepada perpecahan atau bahkan konflik berdarah, terhadap cucu kemenakannya dikemudian hari, baik itu antar perusahaan antar kaum maupun sekaum, maupun antar nagari disekitaran kenagarian Gunung Medan.
Semenjak tahun 2005 hingga saat ini konflik kecil antara perusahaan dengan masyarakat yang mengelola tanah ulayatnya sering terjadi, besar kecilnya skala konflik tersebut tidak akan kita pentingkan, namun perlu diingat ini adalah bibit konflik, contoh kasus yang sering terjadi itu adalah pertengkaran antara kontraktor yang hendak melakukan penggarapan dengan masyarakat yang menolak dan mengatakan bahwa tanah yang dia kelola tersebut bukan hak PT. AWB.
Mengapa sering terjadi konflik?, antara masyarakat gunung medan dengan pihak PT. AWB, mari kita coba runut kebelakang, apa betul yang menjadi “Masalah” nya. Penyerahan tanah yang dilakukan Simail pada tanggal 19 Agustus 2003 lalu menyatakan bahwa terhadap pihak C (PT. AWB) pemilik ulayat memperoleh 14.000 hektar untuk dijadikan plasma, dan 7.000 hektar untuk dijadikan sebagai kebun inti, ternyata pada akta perjanjian yang dilakukan antara pihak A dengan pihak C selaku investor pada tanggal 27 Oktober 2009 luasan tersebut berubah, dimana untuk pemilik ulayat (plasma) menjadi 40 % dan untuk kebun inti menjadi 60 %, hal ini jelas merugikan pemilik ulayat dan masyarakat.
Untuk manusia yang sedikit cerdas dari segi manapun perjanjian tersebut secara sadar dan sengaja merugikan masyarakat dan pemilik ulayat dibandingkan dengan perjanjian awal tanggal 19 Agustus 2003. Jika betul pihak A dalam hal ini mengaku sebagai pemangku adat tinggi di kenagarian Gunung Medan, boleh kita simpulkan disini ternyata pemangku adat ini sengaja membuat perjanjian yang merugikan kaum adatnya sendiri (Tungkek tu bana nan mambaok rabah).
Reporter : efrizal
:
comment 0 komentar
more_vert