MASIGNCLEANSIMPLE101

Walhi : Indonesia Darurat Kejahatan Korporasi

MITRAPOL.com - Beberapa hari ini publik diperlihatkan dengan berbagai peristiwa yang bukan hanya mencoreng komitmen Presiden Jokowi untuk penegakkan hukum dalam kasus kebakaran hutan dan lahan, namun juga mengusik rasa keadilan bagi publik. Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) di keluarkan oleh Kepolisian Daerah dengan berbagai alasan, antara lain dengan ketidak cukupan bukti-bukti. Namun di ruang lain, penangkapan besar-besaran dilakukan terhadap masyarakat kecil, seakan tidak kompromi. Lemahnya wibawa negara di hadapan korporasi juga di tunjukkan dengan peristiwa penyanderaan petugas KLHK dan penghalangan sidak Badan Restorasi Gambut.



Bertempat di Ruang Gallery WALHI yang berada di Jl. Tegal Parang Utara No. 14 Jakarta Selatan, Kamis (08/09/2016) Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mengadakan konfrensi pers untuk menyikapi berbagai peristiwa yang mengusik rasa keadilan bagi publik, di tengah komitmen Presiden untuk penegakan hukum dalam kebakaran hutan dan lahan.

WALHI menilai bahwa dari hulu hingga hilir, korporasi melakukan berbagai tindak kejahatan, baik kejahatan lingkungan maupun kejahatan kemanusiaan. Di hulu, di berbagai kasus yang di advokasi oleh WALHI, korupsi dilakukan untuk mendapatkan izin. Dalam analisa yang WALHI lakukan bersama dengan organisasi masyarakat sipil lainnya menemukan berbagai bentuk modus operandi kejahatan korupsi yang dilakukan oleh perusahaan.

Korporasi juga melakukan kejahatan dalam rangkai produksinya, dalam land clearing dengan membakar yang mengakibatkan penghancuran ekosistem, kematian, dampak kesehatan masyarakat yang buruk, kerugian negara dan kerugian negara lainnya. PT. MHP misalnya, selain konsesinya terbakar dengan luasan mencapai sekitar 80.000 hektar, mereka juga melakukan pelanggaran terhadap hak asasi manusia dengan menggusur tanah dan ladang milik masyarakat yang berada di Cawang Gumilir Musi Rawas Sumatera Selatan. Sudah 158 hari masyarakat tinggal di pengungsian.

Menyuap, melakukan pelanggaran hukum dan aturan, melanggar hak asasi manusia, menjadi watak korporasi dalam menjalankan bisnis mereka. Penggunaan
kekerasan, premasnisme dan pendekatan keamanan, termasuk pengerahan aparat keamanan (Polisi/TNI) dan juga kelompok pamswakarsa selalu menjadi pola yang sistemastis dan pada akhirnya terus melanggaengkan konflik struktural agraria.

WALHI mempertanyakan peran penegakkan hukum, yang dalam hal ini Kepolisian dalam menangani kasus-kasus struktural lingkungan hidup, terutama dalam kasus kebakaran hutan dan lahan. WALHI juga menilai bahwa Polisi tidak hanya gagal dalam menegakkan hukum, terutama dalam hukum linkungan, akan tetapi juga gagal menterjemahkan undang-undang, bahkan terkesan memelintir isi undang-undang, sehinga gagal melihat penyebab kebakaran hutan serta lahan, dan gagal menetapkan tersangka pelaku pembakar hutan.

Dalam kejadian tersebut, Polisi di curigai memposisikan diri mewakili kepentingan korporasi, bahkan terlihat mulai berani berhadapan dengan negara, sementara korporasi mulai terang-terangan menunjukkan kedudukannya yang melampaui negara.

Nur Hidayati selaku Direktur Eksekutif Nasional WALHI, mengatakan, berbagai peristiwa hukum yang terjadi dalam beberapa hari ini, harusnya dapat menjadi momentum bagi Presiden RI untuk menyatakan bahwa Indonesia berada dalam Darurat Kejahatan Korporasi.

Nur Hidayati juga merekomendasikan agar ; Presiden Republik Indonesia melakukan evaluasi menyeluruh di tubuh Polri juga TNI, dimana selama ini terindikasi menjadi backing korporasi terutama korporasi perusak lingkungan dan melakukan pelanggaran HAM. Memastikan reformasi di sektor keamanan dapat berjalan di tubuh institusi Kepolisian dan TNI.

Dan mereview upaya penegakkan hukum dalam kasus kebakaran hutan dan lahan serta kejahatan lingkungan hidup lainnya yang saat ini sedang berjalan, khususnya Kementrian/Lembaga Negara yang diberi kewenangan dan tugas dalam menegakkan hukum. Mengingat proses penegakkan hukum lingkungan yang berjalan saat ini, belum mampu menjangkau kejahatan korporasi.

Sementara Yetty Trigianti (37) salah satu warga Dusun Cawang Bumi Hilir, Desa Bumi Makmur SP6HTI Sumatera Selatan, berharap agar Pemerintah mau mendengar dan jangan seenaknya saja menggusur begitu saja tanpa meninjau terlebih dahulu kehidupan serta dampak kedepannya bagi masyarakat kecil.

Pada waktu itu pemerintah desa kami mengajukan surat kepada kementrian untuk mengeluarkan warga dusun 7 untuk keluar dari kawasan hutan, dan kementrian menolak, tetapi prakteknya mereka tetap menggusur kami, maka dari itu kami menanyakan di mana keadilan dan dimana Pancasila, bahkan kami merasa di jajah oleh bangsa kami sendiri, karena PT tersebut adalah milik orang Jepang.

"Kami ini warga Indonesia yang legal, bukan warga ilegal karena kami memiliki dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah setempat, tetapi kenapa kami di bawakan aparat Kepolisian dan TNI yang bersenjata, seolah-olah kami ini penjahat. Kami ini hanya masyarakat kecil yang kesehariannya sebagai petani, tetapi sama sekali tidak di pandang oleh Pemerintah, maka dari itu kami hanya mengharapkan keadilan yang seadil-adilnya untuk kami," tegasnya.

Mengingat situasi darurat kejahatan korporasi tersebut, WALHI juga mendorong adanya pengadilan lingkungan hidup. Pengadilan dibutuhkan karena kejahatan lingkungan dan kemanusiaan yang dilakukan oleh korporasi sudah pada tahap kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes). tri wibowo
:
Unknown