MITRAPOL.com - Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Siantar yang dipimpin Ketua Mejelis Hakim Ledis M. Bakara dan dua anggota Iqbal dan Lodewijk menjatuhkan vonis bebas terhadap JS (52) terdakwa kasus kejahatan seksual berulang-ulang terhadap korban NNR anak berusia 15 tahun di Pematang Siantar adalah merupakan perbuatan keliru dan melanggar hukum.
![]() |
Ilutrasi kekerasan terhadap anak |
Komnas PA akan segera mendorong dan meminta Ketua Mahkamah Agung (MA) memeriksa dan membebaskan tugas Ketua Majelis Hakim dan dua annggota Majelis yang memeriksa kasus kejahatan seksual terhadap anak. Dan untuk keadilan bagi korban dan keluarganya, Komisi Nasional Perlindungan Anak mendukung secara penuh upaya kasasi Jaksa Penuntut Umum (JPU) Siantar ke MA atas pembebasan JS dari segala tuduhan dari kejahatan seksual terhadap anak. Hal tersebut dikatakan Ketua Umum Komnas PA Arist Merdeka Sirait dalam keterangan pers yang diterima mitrapol.com, Kamis (9/3/2017).
Komisi Nasional Perlindungan Anak sebagai lembaga pelaksana tugas dan fungsi dari Perkumpulan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Pusat yang memberikan pelayanan di bidang promosi, pemenuhan dan perlindungan anak di Indonesia dalam waktu dekat akan berkoordinasi dengan JPU Kejati P. Siantar lebih dulu sebelum menemui Ketua Pengadilan Tinggi Negeri (PTN) Sumatera Utara dan Ketua MA atas putusan PN Siantar yang tidak mencerminkan keadilan ini, mengingat putusan ini jelas-jelas melanggar ketentuan pasal 81 ayat (1) dan padal 82 ayat (2) UU No. 23 Tahun yang telah diubah kedalam UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) serta Pasal 64 ayat 1 KUH Pidana. Jika putusan bebas ini dibiarkan maka kejahatan seksual terhadap anak diwilayah hukum Siantar Simalungun akan tetus meningkat.
"Seharus majelis hakim dalam memeriksa perkara kejahatan seksual yang dilakukan terdakwa JS terhadap korban NNR dilakukan secara arif berprikemanusiaan dan berpihak pada korban serta memeriksa secara detail dan berkeadilan terhadap dasar tuntutan JPU dengan menggunakan ancaman pidana penjara 8 tahun,” beber Arist dengan penuh kesal.
Jika didasarkan dalam ketentuan padal 81 ayat (1) pasal 82 ayat (2)dan UU No. 23 Tahun 2002, UU No. 17 Tahun 2016 tentang Perubahan kedua UU No 23 Tahunn 2002 yang mengatur pidana pokok terhadap kejahatan seksual sesungguhnya Majelis hakim dapat menghukum terdakwa yakni 10 tahun minimal dan 20 tahun maksimal serta dapat ditambahkan dengan pemberatan hukum dengan suntik kimia. Karena dalam ketentuan UU perlindungan Anak tidak dikenal istilah suka sama suka, justru setiap orang yang melakukan hubungan seksual dengan kekerasan bujuk rayu, janji-janji, bahkan intimidasi dapat dikenakan pidana penjara minimal 5 tahun.
“Oleh sebab itu, putusan majelis hakim yang membebaskan JS dari segala tuduhan adalah janggal melawan dan mencederai hukum. Padahal dalam ketentuan UU Perlindungan Anak hukuman minimal bagi para predator “Kejahatan Seksual” terhadap anak adalah tidak boleh kurang dari lima tahun penjara apa lagi bebas,” tandas Arist. znd
:
comment 0 komentar
more_vert