MITRAPOL.com - Selain Anggota DPRP Papua, Jhon NR Gobay adalah Selaku Ketua Dewan Adat Paniai, Jhon NR Gobay Menguraikan Dampak serta solusi Investasi Tambang Terhadap Masyarakat Adat Papua, Di kediamannya. Nabire, (26/01/2018).
Menurut Jhon, Dengan berbagai kebijakan dan produk hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah, negara secara tidak adil dan tidak demokratis, sebab telah mengambil-alih hak asal usul, hak atas wilayah adat dan Sumber Daya Alam (SDA).
"Kedaulatan negara ditegakkan secara represif dengan mengabaikan kedaulatan masyarakat adat untuk mengatur dan mengembangkan kemandirian kultural dan politik di dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara."ucapnya.
Lanjudnya "Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, Sebab masyarakat, dan pemerintah adalah (2) Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman, Maka Pelanggaran terhadap hak adat, merupakan sebuah pelanggaran Hak Asasi Manusia."terangnya.
"Sikab ini yang dinyatakan juga oleh masyarakat adat papua dalam Manifesto hak-hak dasar masyarakat adat papua, dalam Konferensi Besar Masyarakat Adat Papua 2000, hal itu dimandatkan kepada Dewan Adat Papua, guna untuk menjalankannya namun dalam pelaksanaannya, pandangan yang negative selalu diamanatkan kepada Dewan Adat Papua serta pergerakannya, sehingga dalam pembelaan hak-hak masyarakat, baik stigma separatis selalu dilabelkan kepada Dewan Adat Papua (DAP)."Tuturnya.
"Dampak pada Masyarakat Adat,
Banyak konflik Tanah dan sumber Daya Alam (SDA) di Papua yang belum rampung sampai hari ini, seperti pengambilan tanah milik masyarakat adat dengan cara-cara yang tidak manusiawi."bebernya.
Lanjut Jhon, "Sebab cara yang kadang digunakan adalah , Sebagai pihak investor adalah tampil seperti interklas dan memberi bantuan dan juga memberikan harapan kepada masyarakat adat yang berlebihan, otomatis masyarakat awam percaya dengan kata-kata mereka, padahal hanya bujuk rayu saja, karena itu yang biasa melahirkan "prokontra dalam masyarakat."terangnya.
Lanjutnya, Hal ini Pro karena hanya melihat dari aspek ekonomi, seperti lapangan kerja, bisnis, dan sebagainya, ada juga Kontra karena melihat dari aspek dampak negative yang terjadi, karena kehadiran investor seperti kekerasan, lingkungan hidup dan munculnya penyakit social."tutur jhon.
"Setelah perusahaan ini mengantongi ijin, maka wilayah kerja akan dijaga oleh aparat keamanan, sehingga masyarakat hanya sebagai penonton bahkan mereka mengalami kekerasan, di saat mereka tuntut hak mereka, malah dituduh separatis, dan di juluki teroris. "Ucapnya.
"Selanjutnya Metode Pengelolaan SDA yang lain di Papua, juga di ikuti pendekatan keamanan dengan jasa pengamanan serta ada juga preman kampung dengan “jatah preman” dan menjadi jalan bagi perusahaan untuk menutup akses masyarakat adat ke perusahaan, ini adalah akar konfilk tanah dan SDA di Papua."jelasnya.
"Dengan Adanya konspirasi dalam hal pemberian ijin kadang terjadi, ketika ada pilkada disebuah daerah yang mempunyai potensi SDA, perkebunan, Pengusaha akan berupaya menempatkan orang yang dapat mempelajari peta kekuatan para kandidat, jika sudah jelas, pengusaha akan mengarahkan bantuan kepada kandidat yang akan menang, dengan harapan dapat memperoleh Ijin Usaha sesuai dengan potensi daerah, agar mereka dapat melakukan investasi, sedangkan masyarakat adat tidak dapat apa-apa, hal inilah yang saya sebut "Pengusahan Yang Mengatur Penguasa."ucap jhon.
Menurut Jhon, Terkadan Investor meminta penguasa untuk membuat regulasi yang dapat memuluskan jalan masuk kerajaan bisnisnya, karena itu, dokumen AMDAL bisa keluar setelah hutan hancur, dan Investasi juga melahirkan penyakit social yang dibawah oleh orang lain yang datang untuk mencari kerja di perusahaan.
Sesuai Pandangan Jhon NR Gobay, "Hal yang saya kemukakan diatas adalah adanya konflik tanah dan SDA MILIK MASYARAKAT ADAT DENGAN NEGARA DAN INVESTOR yang disebabkan oleh adanya konspirasi antara pengusaha dan pemerintah yang merugikan masyarakat adat pemilik tanah, karena mereka belum secara maksimal membicarakan kompensasi antara masyarakat dan perusahaan, karena banyak hal kadang kala terjadi konflik tanah dan sumberdaya alam antara masyarakat adat dengan pihak luar, hal ini tidak selamanya karena kesalahan masyarakat, tetapi juga disebabkan oleh pemerintah, oknum aparat keamanan dan pengusaha yang tidak sabar terlalu tergesa-gesa, dalam menyelesaikan masalah hak masyarakat adat atas tanah dan SDA, tanpa mempunyai sebuah desain yang jelas, (SIAPA YANG PUNYA TANAH).
Lanjutnya, "Menurut saya ada tiga kelompok yang berhak bicara dan mendapat kompensasi, seperti Siapa Pertama Datang (Pemilik hak), Siapa Yang Datang Kemudian (Hak Pakai atau pemilik) Dan Siapa tinggal tetapi Yang Pergi dengan alasan tertentu, hal ini sehingga menjadi patokan ala papua dengan memperhatikan system kepemilikan tanah di Papua, sehingga selalu saja ada pemalangan, dan hal ini terjadi karena secara nasional disebabkan pelemahan posisi masyarakat adat, Pada hal masyarakat punya kekuatan yaitu, UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Pasal 135."jelasnya.
"Pemegang IUP Eksplorasi atau IUPK Eksplorasi hanya dapat melaksanakan kegiatannya setelah mendapat persetujuan dari pemegang hak atas tanah, pada Pasal 138 Hak atas IUP, IPR, atau IUPK bukan merupakan pemilikan hak atas tanah, sebab
Berbagai undang-undang yang mengingkari kedaulatan masyarakat adat harus dicabut atau diubah, antara lain; UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, harus ditinjau ulang berdasarkan pengakuan sepenuhnya atas kedaulatan masyarakat adat." Jelasnya.
" Pengakuan sepenuhnya atas kedaulatan masyarakat adat atas sumberdaya alam harus dijamin dan dilindungi dalam undang-undang yang baru, Agar Masyarakat adat tidak dirugikan, Jika dirugikan maka ada dasar kami menuntut yaitu UU No 4 Tahun 2009 Pasal 145 tentang Masyarakat yang terkena dampak negatif langsung dari kegiatan usaha pertambangan, berhak memperoleh ganti rugi yang layak akibat kesalahan dalam pengusahaan kegiatan pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, Selanjutnya mengajukan gugatan kepada pengadilan terhadap kerugian akibat pengusahaan pertambangan yang menyalahi ketentuan."ucapnya.
Jhon mengatakan,"Solusi atau Langkah-langkah dapat dilakukan oleh pemerintah di Papua adalah, dengan Serius mengerjakan pemetaan tanah adat, melalui musyawarah adat agar jelas kepemilikan agar tidak selalu masalah tanah menjadi penghambat, tetapi hal itu dapat dikerjakan Dinas yang jelas baik di Provinsi maupun Kabupaten/kota di Papua, dengan sumber dana yang jelas, sebab Beberapa pasal dalam UU No 4 Tahun 2009 menjadi dasar untuk Perundingan ulang, atas penggunaan tanah dan kekayaan alam, yang berdasarkan hak asal-usul atau hak tradisional yang dijamin oleh UUD 1945 dan amandemennya merupakan “kepunyaan” masyarakat adat, (lebih tepatnya dikuasai secara turun-temurun oleh masyarakat adat sebagai hak asal usul atau hak tradisional) yang selama ini “dipakai” untuk berbagai proyek-proyek pemerintah dan pengusaha, termasuk diantaranya proyek pertambangan, Berbagai rencana proyek baru di dalam dan di atas tanah dengan menggunakan kekayaan alam masyarakat adat, harus didasari atas perundingan bersama masyarakat adat yang menguasainya, dan dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap masyarakat adat.
"Adapun Pola yang mestinya digagas adalah Masyarakat Adat juga sebagai pemilik perusahaan atau badan usaha dengan prosentase saham, karena dengan adanya kontrak yang saling menguntungkan, pengamanan oleh masyarakat, dan lain- lain, Perlu diketahui pemberian IUP/KK bukan berarti hak atas tanah hilang, tanah tetap milik masyarakat adat, karena sesuai dengan UU 4 Tahun 2009. semua itu diatur dalam sebuah DOKUMEN KESEPAKATAN yang legal, sehingga investor datang sebagai SOBAT bukan RAJA."tandasnya.
Reporter : ronald karambut
:
comment 0 komentar
more_vert